adsense

Rabu, 06 April 2011

Satyalancana Kebudayaan untuk Iwan Fals


Anugrah Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan 2010 untuk Iwan Fals, bisa meretas semakian terbukanya dialektika antara masyarakat dan pemimpinnya.
Wahai presiden kami yang baru/ Kamu harus dengar suara ini/ Suara yang keluar dari dalam goa/ Goa yang penuh lumut kebosanan//
Walau hidup adalah permainan/ Walau hidup adalah hiburan/ Tetapi kami tak mau dipermainkan/ Dan kami juga bukan hiburan//
Turunkan harga secepatnya/ Berikan kami pekerjaan/ Pasti kuangkat engkau/ Menjadi manusia setengah dewa// …
Itulah penggalan lirik lagu Manusia Setengah Dewa gubahan Iwan Fals. Lirik yang bermuatan kritik ini, justru sempat menuai kritik dari masyarakat Bali karena mereka menilai, Iwan hendak mensejajarkan manusia dengan Dewa. Terlepas dari persoalan kritik yang menuai kritik itu, lirik lagu Manusia Setengah Dewa terasa sangat linier dengan konteks realitas sosial kehidupan di negeri kita.
Paska reformasi, berkali-kali pergantian Presiden belum juga mampu mensejahterakan rakyat. Gelombang PHK setelah krisis 1998, melahirkan angka pengangguran yang hingga sekarang belum turun dengan signifikan. Dalam pada itu, dari pemilu ke pemilu, masyarakat hanya menjadi objek perolehan suara, toh para pemimpin yang diberi mandat, belum mampu mengubah keadaan. Lirik lagu di atas, terasa benar mewakili suara rakyat miskin yang megap-megap.
Iwan, sebagaimana sudah kita mafhumi, adalah musisi yang berdiri di barisan marginal. Sedari debut-nya di tahun 70-an, lirik lagu gubahnya senantiasa menyuarakan “akar rumput”. Karena akar rumput banyak tercipta oleh sistem dan struktur, maka dengan sendirinya lirik lagu Iwan Fals terasa memberontak terhadap otoritas suprastruktur (penguasa). Seluruh kekuasaan dan pemimpin, serta ketimpangan yang ditimbulkan akibat penyelewengan kekuasaan dan kepemimpinan, kemudian mendapat kritik tajam dari penyanyi bernama asli Virgiawan Listianto itu. Satu-satunya pemimpin (mantan) yang mendapat pujian dari Iwan adalah Proklamator Bung Hatta.
Nama Iwan kemudian semakin kukuh sebagai kritikus atas kekuasaan melalui karya musik saat bersama grup Swami merilis lagu Bento yang disebut-sebut sebagai akronim dari Benny Soeharto. Larik lagu ini menyoroti tingkah  para penguasa dan pengusaha papan atas sebagai maling kelas kakap.
Meskipun sebagai kritikus yang cukup pedas, namun Dewi Fortuna sepertinya berpihak, karena secara keseluruhan, karier Iwan tidak pernah terjegal. Kariernya terus melesat. Tahun 1979 adalah titik lesatnya, ia meraih Juara harapan Lomba Musik Humor. Sejak itu, tidak kurang dari 30-an penghargaan ia terima, termasuk lagu “Bongkar” bersama grup Swami yang menerima penghargaan 150 lagu terbaik sepanjang masa versi Majalah Rolling Stone peringkat 1. Namanya semakin kukuh sebagai pembela “wong cilik” ketika Majalah Time Asia edisi 29 April 2002 memilihnya sebagai salah satu The Asian Heroes.
Kiranya bangsa Indonesia patut bangga memiliki musisi seperti Iwan yang konsisten melantun lirik-lirik yang mengertikik. Sebab, kritik memang diperlukan. Pilar demokrasi, selain membagi kekuasaan atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga membutuhkan lembaga kritik sebagai penyeimbang. Dulu, pengemban lembaga kritik adalah pers, sehingga mantan Presiden Amerika Thomas Jefferson, pernah berkata “Lebih baik ada pers tanpa negara, dari pada punya negara tanpa pers”.
Tetapi ketika pers mulai terseret oleh kepentingan industri, peranannya sebagai lembaga kritik dan kontrol bisa melemah, dan kini kita mulai merasakannya. Pers malah terasa sebagai perpanjangan dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam kondisi seperti ini, elemen masyrakat harus bangkit untuk menyampaikan kritik dan kontrol. Pada posisi inilah pentingnya Iwan Fals untuk bangsa ini.
Rupanya, meskipun Presiden dikritik melalui lagu Manusia Setengah Dewa tadi, tidak membuat pemerintah menjadi antipati. Iwan Fals malah menerima Anugrah Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden yang diberikan pada Rabu, 23 Maret 20111 di Gedung Kesenian Jakarta. Penghargaan diberikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jerok Wacik, dan diterima oleh putrinya, Anissa Cikal Rambu Basae. Penghargaan Satyalancana Kebudayaan untuk Iwan Fals ini mengandung makna bahwa kritik dari perorangan harus dijalankan bagi keseimbangan sebuah tatanan. Juga mengandung makna, bahwa keran kritik, harus dibuka dengan lebar.
Penghargaa Anugrah Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan 2010 juga diberikan kepada Darmanto Jatman (penulis buku), alm. Koetono Koeswojo (Koes Ploes), almh. Dewi (penari topeng), Hj. Siti Maryam R. Salahuddin (penulis buku tentang Bima), Jakob Sumardjo (sejarawan teater), Emha Ainun Najib (sastrawan), dan Abdul Hadi WM (sastrawan).
Jero Wacik pada sambutannya mengatakan, “Bangsa ini, para pemimpin di tingkat pusat maupun daerah, jangan pelit memberikan penghargaan kepada seniman dan budayawan. Sebab mereka telah mengharumkan nama bangsa dan mewariskan karya yang berguna.”
Pada kesempatan yang sema, selain diberikan penghragaan Anugrah Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan 2010, pemerintah Melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, juga memberikan Penghargaan Hadiah Seni kepada tiga mususi, yaitu alm. Elfa Socioria, Sundari Soekotjo, dan I Gusti Putu Gede Wedhasmara.
Penghargaan dan hadiah tersebut diberikan pada 23 Maret bertepatan dengan Hari Musik Nasional. Acara penghargaan diselenggarakan oleh Kementerian Budpar bekerjasama dengan Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI). | Doddi Ahmad Fauji | doddi@jurnas.com
IWAN FALS
Nama asli: Virgiawan Listanto
Nama populer: Iwan Fals
Nama panggilan: Tanto
Tempat tgl. lahir: Jakarta, 3 September 1961
Alamat: Jl. Desa Leuwinanggung No. 19 Cimanggis,
Bogor Jawa Barat – Indonesia
Pendidikan:
SMP 5 Bandung
SMAK BPK Bandung
STP (Sekolah Tinggi Publisistik, sekarang IISIP)
Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Orang tua: Lies (ibu), alm. Sutopo (ayah)
Isteri: Rosanna (Mbak Yos)
Anak:
Galang Rambu Anarki (almarhum)
Anissa Cikal Rambu Basae
Rayya Rambu Robbani
Hobi: sepakbola dan karate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar